Monday, April 25, 2011

Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru

Perjanjian lama dan Perjanjian Baru
Alkitab Gereja Katolik terdiri dari 73 kitab, yaitu Perjanjian Lama terdiri dari 46 kitab sedangkan Perjanjian Baru terdiri dari 27 kitab. Bagaimanakah sejarahnya sehingga Alkitab terdiri dari 73 kitab, tidak lebih dan tidak kurang? Pertama, kita akan mengupas kitab-kitab Perjanjian Lama yang dibagi dalam tiga bagian utama: Hukum-hukum Taurat, Kitab nabi-nabi dan Naskah-naskah. Lima buku pertama: Kitab Kejadian, Kitab Keluaran, Kitab Imamat, Kitab Bilangan dan Kitab Ulangan adalah intisari dan cikal-bakal seluruh kitab-kitab Perjanjian Lama. Pada suatu ketika dalam sejarah, ini adalah Kitab Suci yang dikenal oleh orang-orang Yahudi dan disebut Kitab Taurat atau Pentateuch.



Selama lebih dari 2000 tahun, nabi Musa dianggap sebagai penulis dari Kitab Taurat, oleh karena itu kitab ini sering disebut Kitab Nabi Musa dan sepanjang Alkitab ada referensi kepada “Hukum Nabi Musa”. Tidak ada seorangpun yang dapat memastikan siapa yang menulis Kitab Taurat, tetapi tidak disangkal bahwa nabi Musa memegang peran yang unik dan penting dalam berbagai peristiwa-peristiwa yang terekam dalam kitab-kitab ini. Sebagai orang Katolik, kita percaya bahwa Alkitab adalah hasil inspirasi Ilahi dan karenanya identitas para manusia pengarangnya tidaklah penting.


Nabi Musa menaruh satu set kitab di dalam Tabut Perjanjian (The Ark of The Covenant) kira-kira 3300 tahun yang lalu. Lama kemudian Kitab Para Nabi dan Naskah-naskah ditambahkan kepada Kitab Taurat dan membentuk Kitab-kitab Perjanjian Lama. Kapan tepatnya isi dari Kitab-kitab Perjanjian Lama ditentukan dan dianggap sudah lengkap, tidaklah diketahui secara pasti. Yang jelas, setidaknya sejak lebih dari 100 tahun sebelum kelahiran Kristus, Kitab-kitab Perjanjian Lama sudah ada seperti umat Katolik mengenalnya sekarang.


Kitab-kitab Perjanjian Lama pada awalnya ditulis dalam bahasa Ibrani (Hebrew) bagi Israel, umat pilihan Allah. Tetapi setelah orang-orang Yahudi terusir dari tanah Palestina dan akhirnya menetap di berbagai tempat, mereka kehilangan bahasa aslinya dan mulai berbicara dalam bahasa Yunani (Greek) yang pada waktu itu merupakan bahasa internasional. Oleh karena itu menjadi penting kiranya untuk menyediakan bagi mereka, terjemahan seluruh Kitab Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani. Pada waktu itu di Alexandria berdiam sejumlah besar orang Yahudi yang berbahasa Yunani. Selama pemerintahan Ptolemius II Philadelphus (285 – 246 SM) proyek penterjemahan dari seluruh Kitab Suci orang Yahudi ke dalam bahasa Yunani dimulai oleh 70 atau 72 ahli-kitab Yahudi – menurut tradisi – 6 orang dipilih mewakili setiap dari 12 suku bangsa Israel. Terjemahan ini diselesaikan sekitar tahun 250 – 125 SM dan disebut Septuagint, yaitu dari kata Latin yang berarti 70 (LXX), sesuai dengan jumlah penterjemah. Kitab ini sangat populer dan diakui sebagai Kitab Suci resmi (kanon Alexandria) kaum Yahudi diaspora (=terbuang), yang tinggal di wilayah Asia Kecil dan Mesir. Pada waktu itu Ibrani adalah bahasa yang nyaris mati dan orang-orang Yahudi di Palestina umumnya berbicara dalam bahasa Aram. Jadi tidak mengherankan kalau Septuagint adalah terjemahan yang digunakan oleh Yesus, para Rasul dan para penulis kitab-kitab Perjanjian Baru. Bahkan, 300 kutipan dari Kitab Perjanjian Lama yang ditemukan dalam Kitab Perjanjian Baru adalah berasal dari Septuagint. Harap diingat juga bahwa seluruh Kitab Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani.


Setelah Yesus disalibkan dan wafat, para pengikut-Nya tidak menjadi punah tetapi malahan menjadi semakin kuat. Pada sekitar tahun 100 Masehi, para rabbi (imam Yahudi) berkumpul di Jamnia, Palestina, mungkin sebagai reaksi terhadap umat Kristen. Dalam konsili Jamnia ini mereka menetapkan empat kriteria untuk menentukan kanon (=standard) Kitab Suci mereka: [1] Ditulis dalam bahasa Ibrani; [2] Sesuai dengan Kitab Taurat; [3] lebih tua dari jaman Ezra (sekitar 400 SM); [4] dan ditulis di Palestina. Atas kriteria-kriteria diatas mereka mengeluarkan kanon baru untuk menolak tujuh buku dari kanon Alexandria, yaitu seperti yang tercantum dalam Septuagint, yaitu: Tobit, Yudit, Kebijaksanaan Salomo, Sirakh, Barukh, 1 Makabe, 2 Makabe, berikut tambahan-tambahan dari kitab Ester dan Daniel. (Catatan: Surat Nabi Yeremia dianggap sebagai pasal 6 dari kitab Barukh). Hal ini dilakukan atas alasan bahwa mereka tidak dapat menemukan versi Ibrani dari kitab-kitab yang ditolak diatas.

Gereja Kristen tidak menerima hasil keputusan rabbi-rabbi Yahudi ini dan tetap terus menggunakan Septuagint. Pada konsili di Hippo tahun 393 Masehi dan konsili Kartago tahun 397 Masehi, Gereja secara resmi menetapkan 46 kitab hasil dari kanon Alexandria sebagai kanon bagi Kitab-kitab Perjanjian Lama. Selama enam belas abad, kanon Alexandria diterima secara bulat oleh Gereja. Masing-masing dari tujuh kitab yang ditolak oleh konsili Jamnia, dikutip oleh para Bapa Gereja perdana (Church Fathers) sebagai kitab-kitab yang setara dengan kitab-kitab lainnya dalam Perjanjian Lama. Bapa-bapa Gereja, beberapa diantaranya disebutkan disini: St. Polycarpus, St. Irenaeus, Paus St. Clement, dan St. Cyprianus adalah para pemimpin spiritual umat Kristen yang hidup pada abad-abad pertama dan tulisan-tulisan mereka – meskipun tidak dimasukkan dalam Perjanjian Baru – menjadi bagian dari Deposit Iman. Tujuh kitab berikut dua tambahan kitab yang ditolak tersebut dikenal oleh Gereja Katolik sebagai Deuterokanonika (second-listed), atau kanon kedua. Disebut demikian karena disertakan dalam kanon Kitab Suci setelah melalui banyak perdebatan.

Apakah Taurat, Zabur dan Injil?
Secara umum diketahui bahwa saudara-saudara dari umat Muslim mengenal tiga kitab suci kristiani dari 104 pewahyuan. Kendati umat Muslim sering mendapat pengajaran bahwa ketiga kitab sebelum Al-Quran itu telah dirubah, sebagian besar umat Muslim sangatlah menghargai ketiga kitab suci tersebut. Ketiga kitab suci tersebut adalah Taurat, Zabur dan Injil.
Artikel ini tidak membahas kepercayaan umat Muslim tentang pembatalan akan ketiga kitab tersebut, ataupun juga keyakinan

bahwa adanya penyimpangan dalam penulisan yang dilakukan oleh umat Yahudi dan Kristen untuk ketiga kitab suci tersebut. Tujuan dari artikel ini adalah untuk menguji berbagai pendapat dari kalangan Muslim akan ketiga kitab tersebut. Bagaimana pengertian mereka tentang ketiga kitab tersebut?
Perlu dinyatakan disini tentang keyakinan penulis bahwa Taurat, Zabur dan Injil yang naskahnya masih ada di tengah-tengah umat Yahudi dan Kristen (Alkitab), adalah sama dengan kitab-kitab terdahulu yang diturunkan oleh Allah Yang Mahakuasa.
Umat Muslim percaya bahwa ketiga kitab suci terdahulu telah dilebur Nabi Muhammad dalam hubungannya dengan umat Yahudi dan Kristen yang hidup pada masanya. Istri pertama Nabi, Siti Khodijah diketahui beragama Kristen sebelum menjadi Muslim, sepupunya yang bernama Waraka(Warqa) diketahui juga sebagai seorang pelajar Alkitab yang serius dan bahkan ada kemungkinan juga menjadi seorang penterjemah. Jadi sangatlah menarik jika kita dapat mengetahui apa yang dikatakan Quran mengenai ketiga kitab suci ini, dan juga kita dapat mengetahui akan pemikiran umat Yahudi dan Kristen yang hidup pada masa itu. Dalam melakukan hal ini kita juga akan melakukan perbandingan dengan Kitab Injil.
Pengertian Umat Muslim tentang Tiga Kitab Suci
Umat Muslim pada umumnya mengenal akan Taurat, Zabur dan Injil, pengertian mereka akan ketiga kitab ini sangat sederhana. Semuanya berpikir bahwa hal ini merupakan pewahyuan yang diberikan melalui Hazrat Musa, Daud dan Isa (yang berati damai besertanya). Tapi di bawah ini kita akan melihat beberapa pendapat lain.
• Pendapat yang mengatakan bahwa Taurat setara dengan Pentateukh:
Tiga bagian dari Alkitab telah dikutip oleh Alquran menjadi bagian dari wahyu yang diterimanya yaitu : Pentateukh (Kitab Kejadian sampai dengan Ulangan) atau kitab Musa (Taurat); Mazmur Daud (Zabur) dan Injil Isa (Glasse, The Concise Encyclopedodia of Islam, hal. 72)
• Pendapat yang mengatakan bahwa Taurat setara dengan Perjanjian Lama:
Pendapat lain mengatakan bahwa Taurat lebih kurang merupakan pewahyuan yang diberikan kepada umat Yahudi.
Agama yang berhubungan dengan Ibrahim (Abraham) dan semua agama yang berhubungan dengan Yahudi dan Kristen harus menanggung konsekuensinya. Qur'an meninggikan yang satu dan mengabaikan yang lain contoh : Di antara mereka (umat dan kitabnya) ada kelompok yang berlaku benar, tapi kebanyakan dari mereka berkelakuan sangat buruk (ayat 66). Mereka diminta untuk hidup sesuai dengan Torah (Taurat) dan Evangel (Injil), tapi seperti para pendahulu organisasi agama tradisi lainnya, kaum Yahudi dan Keristen saling bertengkar satu sama lain bahwa masing-masinglah yang mempunyai kunci ke jalan keselamatan dalam eksklusivitas mereka :'Umat Yahudi berkata bahwa umat Kristen tak mempunyai dasar atas keyakinan mereka sedang umat Kristen mengatakan yang sebaliknya, padahal mereka semuanya membaca kitab tersebut.' (II,120). (FazlurRahman, Islam halaman 27)
Dari kutipan di atas dari Fazlur Rahman diketahui bahwa Kitab yang menjadi dasar umat Yahudi dan Kristen adalah Taurat dan Injil, yaitu Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Pemikiran ini berasal dari kesaksian Al-Quran sendiri. Kepercayaan yang sama juga ditunjukkan oleh A.J Arberry, Muslim dari Inggris yang menyatakan kata pengantarnya dalam penterjemahan Al-Quran:
Dalam beberapa bagian dikatakan bahwa Al-Quran telah diturunkan untuk "mengkonfirmasikan yang sebelumnya", yang berarti Kitab Taurat dan Injil; yang merupakan kitab Yahudi dan Kristen, kecuali beberapa kesalahan yang dianggap sebagai kebenaran .(Arberry, The Koran Interpreted, halaman xi).
• Pendapat yang mengatakan bahwa Taurat setara dengan Kitab yang hilang:
Abdullah Jusuf Ali kelihatannya menyetarakan Taurat dengan Perjanjian Lama ."Secara langsung dapat dikatakan bahwa ini setara dengan Kitab Yahudi." (Ali,The Holy Qur'an:Text, Translation and Commentary halaman 282). Karena kepercayaannya akan penyimpangan dari Alkitab, ada beberapa kualifikasi berikut:
Tapi Kitab tersebut telah hilang sebelum Islam disiarkan. Bagian yang hilang adalah "Hukum" dimana kehilangan terjadi oleh penyalinan secara massal yang dilakukan secara tradisional di masa kaum Yahudi dan Rasul hidup, di mana saya mencoba untuk menelusurinya dalam buku ini. (Ali,Ibid halaaman 285).
"Penyalinan massal secara tradisional" yang dimaksud Ali adalah merujuk pada Talmud (Ali,Ibid halaaman 285) (lihat bagian Interval Between Christ and Muhammad).

Jadi menurut pendapat Ali, Taurat tak lagi berlaku.
• Pendapat yang mengatakan bahwa Injil setara dengan Kitab yang hilang:
Sesuai dengan Injil, beberapa pendapat penyimpangan adalah benar. Pendapat penyimpangan ini pada dasarnya merujuk pada variasi tema yang sama. Namun karena hal ini, dianggap bahwa terjadi penyimpangan dalam Injil. Dengan pandangan ini muncul pendapat bahwa Injil tak lagi ada. Hal ini menyebabkan pengakuan akan adanya Perjanjian Baru sangat kecil:


Injil (dari bahasa Yunani Evangel=kabar baik=Gospel) dikatakan dalam Quran bukanlah Perjanjian Baru yang diakui sebagai kanon dalam gereja, melainkan yang diajarkan adalah yang diyakini Islam sebagai yang diajarkan Kristus. Bagian-bagian yang menyimpanglah yang selamat dan yang sekarang diakui Gereja sebagai kanon (contoh Gospel of Childhood, Gospel of Nativity, Gospel of St Barnabas- dikenal di Indonesia sebagai Injil Barnabas). (Ali Ibid, halaman 287)
• Pendapat yang mengatakan bahwa Injil setara dengan Empat Kitab pertama dari Perjanjian Baru:
Mengacu pada pendapat Cyril Glasee, ahli Muslim dari Barat, ia menggunakan 3 nama berbeda untuk Injil yaitu: Injil Yesus, Injil dan Perjanjian Baru:
Tiga bagian dari Alkitab diterima sebagai Al-Qur'an sebagai wahyu yaitu: Pentateukh, Kitab Musa (Taurat); Mazmur Daud (Zabur) dan Injil...
Tapi Zabur dan Injil tak mendapat tempat dalam norma Islam, dan isinya kemungkinan besar tak diketahui atau diabaikan oleh saudara-saudara dari Muslim. Dan Injil sangat sukar sekali diterima dalam Al-Qur'an; hal ini disebabkan Injil bertentangan dengan doktrin pemahaman Islam, dan sebagaian besar karena wujud alamiah Kristus...
Umat Muslim percaya bahwa Kitab Perjanjian Baru yang digunakan oleh umat Kristen tak benar, dan telah mengalami penyesatan. (Glasse, Ibid, halaman 72)
Karena adanya perbedaan tema inilah Injil dianggap telah mengalami penyimpangan, ada kalangan Muslim yang menolak Perjanjian Baru sebagai Injil.
• Pendapat yang mengatakan bahwa Injil setara dengan Perjanjian Baru:
Hughes membuat pernyataan yang menarik pada tahun 1885:
Injil digunakan dalam Al-Qur'an, dan secara tradisi oleh pengikut Nabi pada mulanya, yaitu tentang pewahyuan yang diberikan Allah pada Nabi Isa. Tapi di kemudian hari Injil diasosiasikan sebagai Perjanjian Baru (Hughes, Dictionary of Islam, halaman 211).
Bagi sebagian umat Muslim sangatlah sulit menerima fakta bahwa Hazrat Isa tidak berbicara atau menulis Injil. Adanya pengarang yang berbeda dari Perjanjian Baru merupakan konsep baru bagi mereka.
• Pendapat yang mengatakan Mazmur setara dengan Hazrat Daud
Mazmur atau Zabur bukan merupakan isu yang besar. Kecuali pendapat dari Cyril Glasse di atas.
Pendapat yang mengatakan bahwa Taurat, Zabur dan Injil setara dengan Alkitab:
Puncak dari semua ini adalah pendapat dari Abdul Rahman Azzam, pemimpin Muslim yang dihormati dan pendiri dari Liga Arab, dan merupakan salah seorang yang mempengaruhi Malcolm X menjadi Islam Ortodoks:
Imam Ibnu Al Qayyim berkata: Allah yang dimuliakan telah mengirim para nabiNya dan memberikan pewahyuan melalui buku untuk menunjukkan keadilan di bumi dan di surga."(Azzam, The Eternal Message of Muhammad hal. 102)
Ketika mengomentari kutipan ini, Azzam berkata," Melalui semua buku pewahyuan dilakukan oleh Allah yaitu: Alkitab, Al-Quran."(Azzam Ibid, hal. 102). Azzam telah menyetarakan ketiga kitab (Taurat, Zabur dan Injil) ini dengan Alkitab yang kita kenal sekarang.

No comments:

Post a Comment