Ada sebuah tempat, dimana tempat tersebut menyimpan harta yang sangat berharga (Cublak-cublak suweng). Namun walaupun ada tempatnya, harta yang sangat berharga tersebut tercecer dimana-mana, terdapat dimana-mana (suwenge teng gelenter).
Disini
menjadi sebuah pertanyaan awal: bila ada sebuah tempat dan tempat
tersebut menyimpan harta sangat berharga, sedangkan harta itu sendiri
tercecer dimana-mana, terdapat dimana-mana. Tempat manakah itu? Tempat
yang menyimpan harta namun hartanya terdapat dimana-mana. Lha kan aneh?
Hartanya tersimpan disebuah tempat namun harta tersebut juga berada
dimana-mana.
Sang penulis lagu ini sedang membeberkan konsep ‘keberlimpahan’ menjadi sebuah lagu sederhana.
Mari kita cermati lebih lanjut. Suwenge teng gelenter yang menggambarkan bahwa harta yang sangat berharga tersebut tercecer dimana-mana, terdapat dimana-mana adalah sebuah gambaran keberlimpahan hidup.
Disekeliling kita, kanan kiri atas bawah terdapat harta tersebut. Tentu
saja ini sebuah berita yang mengejutkan bagi sebagian orang yang disini
digambarkan sebagai ‘Gudhel’: Benarkah keberlimpahan hidup tidak jauh dari kita? Masak sih? Dimana tempatnya sehingga aku bisa mudah mengambilnya?
Berita tersebut memicu orang-orang bodoh, orang-orang berpengetahuan sempit (mambu ketundhung gudhel)
untuk bergegas mencarinya. Mereka karena tidak dibekali pengetahuan
jiwa maka walaupun banyak yang merasa menemukan harta yang mereka anggap
berharga, tetap saja mereka masih merasa kurang dan selalu menengok
kiri-kanan (pak empo lera-lere). Kesuksesan,
materi, nama besar, jabatan, yang semua itu dianggap keberlimpahan tetap
saja mengakibatkan bingung dan tidak puas. Mereka masih ‘pak empo lera-lere’. Pak empo lera-lere juga dapat menggambarkan penderitaan dari orang-orang bodoh yang merasa menemukan keberlimpahan tersebut.
Dibalik
semua itu, ada orang-orang yang sudah menemukan keberlimpahan. Mereka
yang sudah menemukan harta yang sangat berharga tersebut, melihat
orang-orang yang selalu mengejar keberlimpahan palsu, mereka hanya
tertawa saja (sopo ngguyu ndhelikake). Mereka tertawa seakan-akan menyembunyikan rahasia: eh bukan itu lho! Itu palsu! Itu hanya ilusi dunia!
sir pong udele bodong!
Sir adalah Hati Nurani, sedangkan pong udele bodong adalah sebuah ‘sasmita’ atau gambaran tentang wujud yang tidak memakai apa-apa sehingga udel atau
pusarnya kelihatan. Telanjang atau orang yang tidak memakai artibut
apa-apa adalah orang sederhana, rendah hati, mengedepankan rasa dan
selalu memuliakan orang lain. Yang akan menemukan ‘Cublak’ tersebut
adalah orang yang polos, tidak memakai atribut, tidak memakai ego
kepemilikan dan kemelekatan, dan itu bukanlah para Gudhel! Ia sekali lagi adalah para pong udele bodong, yaitu orang-orang polos, sederhana, dan bersih hatinya.